Bara
Januari
2022.
Sudah
8 tahun yang lalu, namun aku masih ingat persis bagaimana hari itu terlewati.
Bandung, 2014
Saat
itu hujan turun deras, angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan yang jatuh
dibawah pohon. Suasana aula di Bandung hari ini begitu riuh. Kami yang berjumah
hampir lima ratus orang juga belasan panitua memenuhi aula, aku memikirkan bagaimana
nanti malam akan tertidur dengan keadaan ramai begini, kebanyakan tempat
dipenuhi oleh tas teman-temanku, beberapa teman yang tak kebagian duduk,
berteduh dipinggir-pinggir aula.
Aku
termenung memandangi hujan yang kini semakin deras.
Begitu hujan mulai reda, aku buru-buru membuka payung kecilku. Aku berjalan perlahan menuju tempat acara kesenian akan dimulai. Jarakku lumayan jauh dari teman-teman yang berjalan lebih dulu. Aku berjalan sangat pelan karena jujur saja aku takut terpeleset. Jalanan berbatu yang aku lewati begitu licin, belum lagi batu-batu yang kuinjak diselimuti oleh lumut-lumut hijau.
“Ikut dong.” Ucap seseorang tiba-tiba sambil berjalan disampingku dan berlindung dipayungku.
Sontak
aku menoleh, seorang laki-laki yang wajahnya tak asing bagiku. Hanya saja aku tak pernah berbincang dengannya sebelumnya, aku hanya
sekedar tahu namanya.
Aku tahu namanya karena dia menjadi center di kelompokku, tingkahnya yang jahil dan suka membuat orang tertawa membuatnya cepat dikenal oleh orang sekitarnya, namanya sering disebut oleh teman-temanku. Namun diluar itu semua, aku pernah melihatnya diam-diam karena dia memiliki senyum yang manis.
Masih teringat jelas bagaimana wajahnya kala itu. Ia tersenyum saat aku melihat kearahnya. Aku segera mengalihkan pandanganku darinya.
“Iya,”
jawabku seadanya, karena jujur aku tak tahu harus menjawab apa.
Kami
berjalan beriringan. Aku merasa lebih tenang dan aman untuk
melanjutkan langkahku karena kini ada orang yang berada disampingku. Aku membiarkannya
memegangi payung karena dia lebih tinggi dariku.
Selama berjalan gemericik hujan semakin keras. Aku sesekali melihat kearahnya, aku tersenyum tipis, satu kalimat yang aku ucapkan dalam hati saat itu adalah,
“Untung
ada kamu disini,”
***
Begitulah awal mula aku menaruh perasaan padanya. Sampai hari ini. Aku tak tahu bagaimana atau sejak kapan ia memiliki perasaan yang sama padaku. Namun ku akui perjalananku dengannya untuk bisa sama-sama sangatlah berat, banyak hal yang membuat kami harus saling ikhlas merelakan. Kalau sama dia terasa sakit karena harus memendam perasaan satu sama lain seakan semuanya terlihat baik-baik saja, tapi kalau gak sama dia dan tanpa kabar dari dia rasanya lebih sakit.
Beberapa
orang prnah singgah dihidupku, begitu juga dengannya. Namun perasaan ku dan dia
masih sama-sama menyala dalam diam.
Aku
ingat perumpamaan yang pernah ia katakan tempo hari:
“Kita kayak bara api
unggun yang pernah menyala kuat, seiring waktu mulai mengecil tapi baranya akan
terus ada. Tapi kalo disiram bensin hidup lagi, lebih besar dari sebelumnya.”
Dengan
santainya aku menjawab.
“Baranya masih ada, gak
akan pernah ilang. Tergantung sekarang bakal disiram bensin lagi atau dibarin
padam sampe bener-bener mati.”
Dia
tertawa dan menjawab.
“Iya. Tapi kenyataannya
semakin kesini bensin yang disiram semakin banyak.”
Aku
balas tertawa sambil tersenyum mengiyakan.
Dan
aku bersyukur sampai saat ini masih dia orangnya, masih dia tokoh utama dalam
ceritaku. Aku percaya kata orang bahwa:
“Sebaik apapun orang
baru, orang lama tetap pemenangnya”
dari Celia untuk Fabio.
Komentar
Posting Komentar